pertemuan tengganai dalam budaya Sungai Penuh |
“Kceak
Banamea
Gdiang
Bagelia
Kceak
disebeuk namo
Gdiang
dipanggeang glou”
Inilah penggalan kalimat yang lazim diucapkan
dalam sebuah parno adat di Sungai Penuh. Makna kalimat-kalimat tadi lebih
kurang adalah : kecil memiliki nama, besar memiliki gelar. Kecil disebut dengan
nama, besar dipanggil dengan gelar.
Demikianlah adat di Dusun Sungai Penuh (dan Sakti
Alam Kerinci tentunya) mengatur tata cara menyapa dan memanggil seseorang. Dalam
kehidupan sehari-hari, seorang anak kecil (terutama belum baligh) oleh orang
yang lebih tua dipanggil dengan nama yang bersangkutan. Contohnya si Rama yang
baru 4 tahun, ya dipanggil dengan namanya, Rama.
Namun menginjak dewasa, orang-orang tua mulai
membahasakan nama seseorang dengan panggilan tertentu, menurut urutan seseorang
beradik kakak. Maka dikenallah panggilan Uwo,
Ngah, Mbut, Andok, Utih, Nek, Cik dan
Nzu. Jika si Rama tadi merupakan anak Pertama, maka akan dibahasakan
memanggilnya dengan sebutan Uwo Rama. Tidak hanya oleh orang-orang yang lebih tua, hal ini dilakoni juga oleh
teman-teman sepermainan, yang akan secara akrab menyapanya Uwo atau Wo.
Pada tahap kehidupan selanjutnya, si anak muda
tadi pun berjodoh. Jika dimisalkan mendapat seorang istri bernama Zahra, maka
Rama akan dipanggil dengan panggilan Lakoi
Zahra atau Laki Zahra. Demikian pula
si Zahra, maka ia akan dibahasakan menjadi Bini Uwo Rama.
Seterusnya, begitu ia memperoleh keturunan,
misalkan lagi nama anak pertamanya Bintang, maka mereka berdua masing-masing
akan dipanggil sebagai Apouk Bintang
dan Induk Bintang. Maksudnya bapak
dan Ibu si Bintang.
Jika dimisalkan dalam kehidupan sosial di dusun, Apouk Bintang tadi dinobatkan sebagai
seorang pemangku adat, bergelar depati
misalnya ia. Maka masyarakat akan membahasakan nya sebagai Depatei Rama. Untuk menyandang gelar adat ini dapat melalui
mekanisme tradisi Kenduri Sko ataupun
melalui Penobatan Datoih kubeu
(penobatan di atas kubur).
Oleh para kemenakan, mereka akan memanggil Uwo
Rama tadi dengan panggilan Mamok
(mamak). Namun oleh anak dari saudara laki-lakinya, ia akan mendapat panggilan Paktuo atau Pakwo.
Hal ini bergulir terus menerus. Demikian pula
halnya dengan si Bintang tadi. Depati Rama yang telah mempunyai menantu, dan
beroleh cucu dari Anaknya Uwo Bintang
tadi (misalkan diberi nama Zakia), akan dipanggil sebagai Nantan Zakia.
Begitu indah adat Sungai Penuh membahasakan nama
seseorang. Begitu ditinggikan martabat seseorang disini, bahkan dimulai dari
menyebut nama dalam pergaulan sosial di masyarakat. So, penulis sendiri di
lingkungan keluarga dan sekitarnya beroleh panggilan Uwo Budi, Lakoi Eka, Apouk Indah ataupun Ngabi Budi.
Tinggal yang jadi pertanyaan, bagaimana tradisi
yang tersusun baik ini bisa dilestarikan ditengah arus modernisasi dan
globalisasi? Tanya hati kita…
Comments
Post a Comment