M
|
anusia tercipta sebagai makluk sosial. Ini mengindikasikan bahwa seseorang manusia akan berinteraksi dengan orang lain di dalam kehidupannya, Manusia dikaruniai begitu banyak kelebihan dibandingkan makluk lainnya sehingga keragaman pola interaksi. Pola interaksi atau sosialisasi seseorang pada prinsipnya adalah sama namun berbeda dalam pelaksanaannya. Hal ini merupakan pengaruh dari budaya dasar, keadaan ekonomi, faktor keluarga, pengalaman hidup dan wawasan serta pendidikan umum dan agama yang dijalani.
Interaksi yang normal memberikan dampak yang baik dalam kehidupan seseorang. Pola pikir dan aktifitas yang dijalani banyak dipengaruhi oleh sifat/perilaku yang dimiliki seseorang. Beberapa diantara perilaku atau sifat yang dimiliki terkadang menyimpang meski masih dianggap normal bagi pola pandang sebagian masyarakat. Berikut ini ada beberapa perilaku yang negatif tersebut dengan studi kasus/pengamatan terhadap sebuah komunitas pekerja.
1. Eksibisionisme
1. Eksibisionisme
Secara mudahnya, katakanlah ini sebagai perilaku ingin mengekspose segala sesuatu tentang dirinya sendiri secara berlebihan. Penampakan watak seperti ini sangat mudah dikenali dari cara berbicara, cara bersikap, pola berpakaian dan setiap gerak-geriknya. Terkadang siempunya sikap akan beralasan bahwa ini adalah bentuk kecintaan atau kehobiannya terhadap sesuatu. Namun tidaklah demikian adanya. Jika diperhatikan dengan sungguh-sunggu, terdapat begitu banyak perbedaan antara sikap eksibisionisme dengan sifat mengikuti hobi atau kecintaan pada sesuatu.
Tidak terlalu sulit untuk mengidentifikasi orang yang bersifat Eksibisionisme. Dalam kesehariannya orang seperti ini akan menunjukkan sikap seperti :
a. Sering mengerjakan sesuatu berlebihan, unik dan istimewa, atau terlihat sangat sibuk dengan pekerjaannya, dengan maksud agar orang lain benar-benar kagum padanya
b. Cara berpakaian, berbicara, pola makan ataupun hobi yang selalu berbeda dari orang lain dan secara logika umum dipandang aneh.
c. Melakukan kegiatan yang berbeda dengan kebiasaan umum tetapi hanya untuk memberikan citra bahwa ia berbeda dan special, sedangkan di lain kesempatan ketika yang lain mengerjakan kegiatan serupa orang tersebut memilih untuk tidak ikut serta.
2. Sindrom anak bungsu
Kita namakan saja pola bersikap yang satu ini demikian. Pengguna sikap ini menempatkan dirinya sebagai seseorang yang “wajib” diperhatikan oleh orang lain disekitarnya dan diperlakukan seolah ia adalah seorang anak bungsu seorang raja yang tentunya kaya raya, berkuasa dan terpandang.
Dalam kesehariaannya, penderita Sindrom Anak Bungsu akan menunjukkan sikap diantaranya:
a. Semena-mena menyakiti perasaan orang lain tanpa rasa bersalah namun disatu sisi orang lain akan sangat bersalah jika menyakiti perasaannya.
b. Wajib didahulukan dalam segala hal yang bersifat menyenangkan.
c. Hanya perlu mengerjakan sesuatu yang disenanginya dan pada waktu, tempat dan cara yang diinginkannya.
d. Begitu mudah baginya meminta tolong (lebih sering memerintah) atas apa yang diinginkannya dan sangat keberatan jika hal yang sebaliknya terjadi.
e. Ingin terlihat manis, anggun dan menyenangkan bagi orang lain (terkadang dengan tampilan yang terkesan dipaksakan)
3. Perilaku “Want To Be”
Pola sikap seperti ini menunjukan lemahnya pembentukan karakter seseorang pada waktu remajanya. Pendidikan formal maupun informal yang diperolehnya tidak mampu membentuk karakternya untuk menjadi diri sendiri. Sangat sulit untuk tahu dan mengerti karakter yang sebenarnya. Ciri-ciri umum orang seperti ini adalah :
a. Sering-mengkhayalkan seandainya dirinya menjadi seseorang yang menurut pola fikirnya adalah The Best Man.
b. Membawa pola fikir tersebut dalam tindak tanduk yang menyerupai seseorang yang dipikirkannya. Namun perilaku ini hanya terbatas pada penampakan luar, tanpa diiringi pemahaman yang jelas tentang idialisme pokok orang yang diidolakan.
c. Cenderung menghindari usaha yang susah guna mencapai kesuksesan dan lebih senang menganggap diri berhasil dengan apa yang dimiliki saat ini.
d. Mudah berubah-ubah sikapnya. Terkadang tak perlu menunggu sebulan orang ini telah menjadi “copian” orang lain. Misalnya bulan lalu ini berbicara ala Barrack Obama, bulan ini ia menjadi Moammar Khadafi. Atau bulan lalu ia menjiplak gaya pak Bupati, bulan ini ia menganggap dirinya menjadi gubernur. Hemmm… asyik juga ya?
4. Gaya Selalu Benar dan Tak Pernah Salah
Mungkin orang ini menghayati sepenuhnya dua pasal tentang boss. Pasal1. Boss tak pernah salah, dan pasal 2. Jika boss bersalah, lihat pasal 1. Nah loe., mantap kan? Oke lah kalau begitu. Maksudnya, okelah jika ia benar-benar bos kita, yang mempekerjakan kita, menggaji dan mengatur segala sesuatunya. Masalahnya, terkadang ia bukan boss yang seperti itu. Bisa jadi hanya karna punya sedikit jabatan tau malah gak ada apa-apanya sama sekali.
Nah, orang seperti ini tentunya gak jarang kita jumpai (atau malah kita sendiri juga seperti ini?). Dalam pergaulan sehari-hari, ia menempatkan dirinya sebagai orang yang benar-benar sempurna sehingga tidak mungkin ada yang salah pada dirinya. Dan jika harus tersalahkan, itu karena orang lain yang gak benar.
5. Mr. google
Tipe yang seperti ini sebenarnya ada banyak kuntungan bagi kita. Ia adalah orang yang supertahu, segalanya. Dari urusan politik, paceklik sampai urusan pabrik. dari soal duit, penyakit hingga soal sawit. Dari soal Dari masalah lalu lintas sampai masalah lalu lalang.
Yang kadang bikil sebal itu, sebenarnya ini orang gak begitu ngerti detail sebuah topik namun ia sangat pede untuk ‘ngasih kuliah dua SKS’. Kadang orang yang lebih berkompeten sendiri bisa juga diceramahinya. Hebat ya…??? Ya iyalah. Siapa dulu yang bikin tulisan ini (nyambung ya…???)
6. Kekanak-kanakan
Secara teoritis, kedewasaan psikologi akan seiring dengan kedewasaan usia. Namun dalam kenyataannya, masih ada yang tidak berimbang antara kedewasaan umur dengan kedewasaan psikologi. Perilaku yang ditunjukkannya dipandang secara umum sudah tidak tepat diterapkan oleh orang seumurnya. Dalam arti kata, perbuatannya seseorang yang dewasa (secara umur) tadi layaknya hanya terjadi pada anak-anak remaja. Dampak dari sikap yang seperti ini tentunya akan menghilangkan respek, rasa segan dan kewibawaannya sendiri diantara rekan-rekannya bahkan di masyarakat.
Salam persaudaraan... Uwo Budi
Comments
Post a Comment