Sungguh, kehebohan menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kerinci di era reformasi ini bagaikan sebuah magnet yang mengarahkan dan menarik tema berfikir masyarakatnya dengan begitu kuat. Bagaimana tidak, waktu pelaksanaan pilkada masih cukup lama dan bahwa tahapan pilkadanya sendiri belum dimulai namun hampir separuh topik pembicaraan dan kasak-kusuk perbincangan mengarah pada aktifitas politik ini.
Dalam khasanah demokrasi, ini tentunya menjadi sesuatu yang patut dibanggakan. Jika tolok ukur kedewasaan berdemokrasi adalah tingkat keterlibatan masyarakat, maka Kerinci rasanya patut dicontoh dan diperhitungkan oleh daerah-daerah lain. Keterkaitan dan keterlibatan emosional dalam pesta demokrasi rakyat ini patut dibanggakan.
Namun, sebuah pertanyaan besar adalah benarkah rakyat Kerinci telah dewasa dalam berpolitik?
Ada beberapa indikator yang dapat kita ukur pada kondisi masyarakat kita, diantaranya :
1. Pemerataan pendidikan politik masyarakat.
Pendidikan politik merupakan tanggungjawab berbagai pihak. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebenarnya sangat diharapkan untuk memberikan pendidikan politik yang jujur dan baik sebab pendidikan politik yang dilaksanakan oleh Partai Politik dapat saja membelokkan dan menggerus nilai mendasar politik dan demokrasi itu sendiri. Nah, sejauh mana pengetahuan politik merata diperoleh masyarakat kita? Apakah masyarakat kita benar-benar mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga Negara dalam berpolitik? Apakah masyarakat yang tinggal jauh dari pusat kota sama atau mendekati sama pemahamannya dalam berpolitik?
2. Keikutsertaan aktif masyarakat mengikuti tahapan pemilihan.
KPUD berkewajiban menginformasikan tahapan-tahapan pemilihan yang akan dilaksanakan dalam sebuah pesta demokrasi. Namun rasanya masyarakat hanya tahu waktu pemilihan saja. Padahal sebuah pemilihan umum melalui berbagai tahapan yang tentunya memerlukan keterlibatan aktif masyarakat. Seperti halnya pendataan dan pemutakhiran data pemilih. Apakah masyarakat kita peduli telah tercantum atau belum namanya dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) ndan Daftar Pemilih Tetap (DPT)? Atau, apakah masyarakat kita bersemangat mengikuti kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilihan Umum?
3. Kepatuhan menjalankan fungsi, hak dan kewajiban dalam berpolitik.
Sebagai contoh yang mudah, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dilarang untuk terlibat dalam kegiatan politik aktif. PNS tidak dibenarkan menjadi tim sukses suatu partai atau calon individu. Bagaimana dengan daerah kita? Atau contoh lainnya, seorang saksi yang ditunjuk suatu partai atau calon independen dalam pilkada berani dan jujur dalam melaksanakan tugasnya? Begitu pula halnya dengan KPUD dan jajaran di bawahnya, benarkan telah bersikat netral dalam menjalankan tugasnya? Ataupun, apakah masyarakat mengetahui bentuk kecurangan dan hak pengaduannya?
4 .Pemahaman dalam menetapkan pilihan.
Kita tentu tidak asing dengan istilah “serangan fajar”, sebuah trik hitam politik yang terasa ada namun jarang bisa dibuktikan. Harus diakui akibat serangan fajar, pilihan yang dijatuhkan seorang pemilih bukan lagi pilihan yang mengikuti kehendak hatinya. Sedangkan resiko sebagai akibat yang harus diterima karena tidak tepat memilih pada saat itu tidak difikirkan. Apakah masyarakat Kerinci tahu bahwa sebagian biaya politik yang telah dikeluarkan oleh pasangan calon yang bersaing, sebagaimana dibuktikan dengan vonis hakim terhadap pemimpin daerah yang korup di di daerah lain, akhirnya akan dibayar oleh masyarakat itu sendiri.
5. Keikhlasan menerima hasil akhir pemilihan.
Masih ingat dengan tindakan destruktif salah satu pasangan calon pada pilkada Kerinci yang lalu? Secara fisik, sebuah Umoh Empat Jenis yang seharusnya dihormati keberadaannya oleh segenap masyarakat menjadi rusak. Namun bukankah secara sosiologi hal ini mencerminkan kesatuan yang telah terkoyak? Semestinya sang calon pemimpin juga menyemangati para pendukungnya untuk “Siap Kalah”.
Ya, kita lah yang selayaknya menakar kedewasaan kita dalam berdemokrasi. Sebab menilai diri sendiri hanya dapat dilakukan oleh jiwa yang dewasa. Maaf jika kiranya sedikit tulisan ini tidak berkenan bagi yang membacanya.
Comments
Post a Comment