Ada sesuatu yang baru
kusadari di tahun 2012 ini. Apa ya? Yuppz, hobi bermain layang-layang atau
layangan. Ternyata kebiasaan semenjak kecil ini begitu melekat, dan mungkin
takkan hilang dalam jiwa ini. Malah, kebiasaan turun temurun ini rencananya mau
diwariskan pula pada generasi Budi
Juniorku.
Ketika coba mengingat
kembali masa lalu, rasanya sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah mulai
‘aktif’ bermain layang-layang. Lapangan dan persawahan disekitar jalan Yos Sudarso
Desa Gedang Kota Sungai Penuh ini seolah menjadi saksi betapa aku pernah
berlari-lari dan bergembira ketika mentari menjelang senja saat memainkan layang-layang.
Dan hari ini, di usia menjelang 35 tahun pun masih menyempatkan diri menarik
dan mengulur benang, bermain layang layang.
Layang-layang, entah
mengapa menjadi hobi atau kesenangan bagiku dan banyak orang lainnya, termasuk
anda, mungkin. Namun dibalik kebiasaan yang bukan hanya milik kanak-kanak ini,
ternyata mengandung banyak filosofi kehidupan.
Pertama, membuat layang-layang,
seakan mengajarkan ku akan prinsip perencanaan, keseimbangan dan keindahan. Perencanaan
terhadap sebuah karya, dimulai dari memilih bambu atau kayu yang akan dijadikan
bingkai atau rangka layang-layang. bambu itu kadang direndam sekian waktu di
air agar tahan seandainya bingkai itu akan disimpan nantinya, menunggu musim mendatang.
Keseimbangan dalam kehidupan seolah diajarkan kembali sewaktu meraut dan
merakit layang-layang. Meraut bingkai tak boleh terlalu lentur dan tak boleh
pula terlalu tegang. Jika terlalu lentur, layangan akan mudah patah ketika
angin kencang, dan sebaliknya, jika rangka terlalu kasar atau tegang, layangan
akan menjadi liar di udara, sehingga susah dikendalikan. Masing-masing ruas
bingkai ditimbang agar seimbang. Kiri dan kanan, atas dan bawah. Nah, saat merekatkan
kertas di rangka, ku pun harus menimbang rasa dalam memilih warna, agar
layanganku, tak hanya bagus naiknya namun juga indah dipandang mata. Oya,
antara tali layangan dan bingkai, dihubungkan oleh rakitan benang tersendiri, Taraju dalam bahasa Sungai Penuhnya. Membuat
Taraju juga memerlukan ketelitian
tersendiri agar layangan seimbang.
Berikutnya, bermain layang-layang
juga mengajarkan analisa terhadap
keadaan. Saat akan menaikkan layang-layang, kutengadahkan kepala memandang
langit sekeliling. Tentunya berharap cuaca mendukung, belum akan hujan dan
angin berhembus sesuai harapan. Jika memaksakan menaikkan layang-layang saat
cuaca mendung, bersiaplah jika turun hujan mendadak dan layangan hanya tinggal bingkai
saja. Begitupun saat angin berhembus terlalu kencang, bisa saja benang/tali
yang digunakan akan putus. Tentu kekecewaan yang akan diperoleh. Jadi, sebelum
memutuskan menaikkan layang-layang, kudu
harus menganalisa keadaan terlebih dahulu.
Ketiga, bermain layang-layang
ternyata mengajarkan kita bersaing secara sportif dan bersemangat. Sahabat semua
tentu tahu ada dua jenis layangan, ada yang ditandingkan dan ada yang
dilombakan. Nah, layangan buat tanding ini biasanya layangan kecil –lang maco dalam bahasa Sungai Penuh-
menggunakan benang yang telah dilumuri serbuk dari kaca. Benang yang tajam
tentunya diandalkan agar layang milik lawan benangnya bisa diputuskan. Keahlian
memainkan benang berpengaruh pula menentukan kemenangan. Jika layang lawan
putus, senang dan bangganya bukan main. Namun tak ada yang boleh marah. Semua harus
sportif. Jika kalah kali ini, esok dicoba lagi dan berusaha untuk menang. Terus,
ada lagi jenis layang-layang yang dilombakan. Lan Panjang Ikow namanya dalam bahasa Sungai Penuh. Layang ini
sengaja dinaikkan untuk menunjukkan keindahan dan kemampuannya melayang tegak
lurus kepala sang pemain. Pemenang pada sebuah lomba, ditentukan atas dasar layang-layang
yang mampu melayang tegak lurus diatas kepala. Agar menang, sekali lagi perlu
perencanaan. Dan dalam berlomba dituntut berlaku sportif. Kalau menang, hadiah
seekor kambing telah menanti.
Terakhir, bermain layang-layang
ternyata mengandung makna bagaimana kita mengatur kehidupan kita. Untuk tampil
diudara, perlu bantuan angin yang baik dan sesuai. Jika bingkai layang lemah,
jangan dinaikkan disaat angin berhembus kencang. Ketika mengulur dan menarik benang, seolah
mengajarkan bagaimana bersikap dalam sebuah kelompok masyarakat. Perlu toleransi
kata layang-layangku. Saat layang naik dengan gagahnya, tetap harus
berhati-hati agar tidak membalik. Artinya ketika roda kehidupan sedang berada
di atas, perlu bersikap rendah hati dan tetap introspeksi diri agar tidak
terjerembab dalam kesalahan.
Uff, layang-layangku
telah mengangkasa. Liukan ekornya mengajakku untuk tersenyum dan optimis
menatap kehidupan ini. Nah sahabat, sekian saja dulu ya, kita teruskan lagi di
musim layangan yang mendatang.
for : http://www.facebook.com/freygill
http://www.facebook.com/silvia.ekawati.7
http://www.facebook.com/budi.uwobud
for : http://www.facebook.com/freygill
http://www.facebook.com/silvia.ekawati.7
http://www.facebook.com/budi.uwobud
Comments
Post a Comment