Hari ini, 17 Januari 2013, banjir besar kembali
melanda Ibukota Negara tercinta, Jakarta. Banjir yang dianggap cukup besar,
setidaknya dalam kurun 5 tahun terakhir ini, bahkan menghampiri Istana Negara.
Banyak pihak kaget, terlebih stasiun televisi selalu menayangkan kejadian ini. Namun saya cukup apresiasi
dengan kecekatan Gubernur DKI, pak Jokowi dalam mengantisipasi dampak lain yang
mungkin timbul. Segenap aparatur yang ada, sipil-militer-medis-ormas maupun
rakyat jelata, terlihat dikerahkan untuk
mengatasi ataupun mengurangi resiko akibat banjir kali ini.
Ada duka disini. Itu pasti. Aktifitas ekonomi
tersendat. Pengungsi bertahan sambil menanti bantuan makanan, pakaian dan
obat-obatan. Ada rumah-rumah yang harus ditinggalkan. Ada harta benda yang
harus direlakan. Intinya, kita mengalami kerugian.
Aku tak merasakan langsung. Aku di bagian tengah
Pulau Sumatera, yang tentunya jauh dari Ibukota Negara. Namun ada duka yang
mampir di hati ini. Ada empati. Ada kekhawatiran yang menghinggapi.
Membayangkan nasib sesama insan. Hingga, terucap lirih doa pada Tuhan.
Namun, dibalik kegundahan ini, tetap terselip
sebuah Tanya. Banjir mungkin kan berlalu, seiring membaiknya cuaca. Yang sakit,
kan dibantu tuk berobat. Yang terpisah, kan berusaha bertemu keluarganya. Yang
tak bisa ngantor, telah dinanti computer dan meja kerjanya. Semua kan membenahi
kerusakan yang terjadi saat banjir ini.
Namun adakah masalah berhenti hanya sampai disitu?
Bukankah banjir di Jakarta bukan hanya kali ini saja?
Ya, rasanya segenap bangsa ini, mengingat inilah
Ibukota Negara kita, perlu berpikir kembali solusi dan langkah nyata untuk
menghindari kejadian serupa.
Secara ilmiah, pemerintah dapat menemukan penyebab
terjadinya banjir. Tak salah lagi, kaitannya dengan daya dukung dan daya
tampung lingkungan.
Namun, apa langkah yang harus ditempuh? Tentu ada
roadmapnya.
Hanya saja, seberapa besar komitmen dan perhatian
kita, untuk sama-sama menghilangkan masalah klasik ini dari Jakarta. Jika ada
kesadaran dan gerakan bersama, bumi nan hijaupun kan mendukung kita.
Comments
Post a Comment