Menanti
putaran waktu mungkin memang jalan terbaik untuk membuktikan
Namun
tetap saja jiwa ini tidak bisa menerima kenyataan
Ada yang
hilang dari negeriku
Ada yang
punah sebelum Tanah Sakti ini menyerah
Maafkan
atas sinisme ku ini
Mungkin
inderawi ku terlalu perasa
Saat
menyimak langit menyiratkan amarah
Aku
hanya mampu menuangkan segelas puisi
Mari
rasakan Sahabatku ;
Dulu ada
beribu tangan terulur ikhlas
Dalam
peluh bergotong royong
Kita
bersua di tepian bandar, di pinggir batang air, di tempat Nantan mendoa akan berangkat Haji, di pinggir titian yang mulai
lapuk, dan entah ditempat mana lagi
Di
antara ibu-ibu yang bertale dengan
nurani
Kita
saling tersenyum, menggenggam sepotong goreng pisang dan seibat nasi pulut hitam
Mari
renungkan Sahabatku ;
Dulu
tatkala senja akan menjelang
Selepas
bergelut dan berlarian di lapangan, atau menghalau unggas yang menumpang makan,
lalu kita bergegas pulang
Berpacu
sebelum Anok Ulau datang, di setiap
petang, saatnya kita berjanji bersua lagi selepas magrib nanti, tatkala
membentang Kitab Suci, menyimak tuturan Tino
tentang ukhrowi
Mari
mengingat kembali Sahabatku ;
Kitapun
pernah hidup sebagai bocah-bocah lugu
Berebut
layangan hingga engkau mengajakku bertinju, “satu lawan satu” katamu saat itu,
hingga ayah memarahi dan mengingatkan kita masih sapadik
Atau
masih ingatkah kala kita mensweeping
semua pematang lalu menekur pada lubang dengan seutas pancing kapanjang
Lalu apa
yang kau rasa saat ini Sahabatku?
Kita
berusaha ngimbang tulang ngilak ploah,
saat terakhir kita bersua, lalu memandang jam tangan untuk menemukan sebuah
alasan berlalu dari tempat itu
Mengapa
harus sibuk bersama-sama jika uang bisa menuntaskan segalanya?
Tak ada
yang tak bisa
Aku atau
engkau atau mereka, kadang juga tak butuh senyum sesama
Jikapun
ingin berkeluh kesah, tumpahkan saja di dunia maya
Samakah
yang kita rasakan saat ini Sahabatku?
Kita
temui senja-senja yang kehilangan kharisma, lebih banyak telinga yang
mengabaikan alunan Ayat Suci, bahkan mereka-mereka yang berangsur tua juga
menyemak di jalanan ini, seakan lupa tuk menuntun anak dan kemenakannya
Generasi
yang seolah alergi memasuki Rumah Suci dan memilih kesenangan kala bisa
mengganti Subuh dengan lari pagi
Mampu
juga kah kau rasakan Sahabatku ?
Ketika
predikat Mamak dan Tengganai tak lagi bermakna apa-apa
Tak ada
sapa hormat dari yang muda seiring ketidakmampuan bertauladan dari yang tua
Tak ada
pantang dan larang
Tiada
memberi hikmah lagi dari ajun dan arah
Ketika
yang muda semakin kabur menetapkan jati diri, ada adat yang semakin larut dalam
politisasi
Maaf
Sahabat...
Mungkin
semua tak begitu
.....
(dalam
hening yang berbeda, kudengar detak jarum jam bertanya : lalu apa maumu?)
Kerinci,
Maret 2013
keterangan
kata dalam bahasa Sungai Penuh / Kerinci :
Nantan : Kakek
Tale : Nyanyian/senandung khas Sungai Penuh/Kerinci
Ibat : bungkus
Anok Ulau : warna orange/kemerahaan di langit pada sore hari
Tino : Nenek
Sapadik : bersaudara
Kapanjang : belut
ngimbang tulang ngilak ploah : ungkapan untuk sikap enggan
membantu
Mamak dan Tengganai : Saudara
laki-laki ibu ataupun orang yang berhak dan berkewajiban mengarahkan suatu
keluarga
ajun dan arah
: ketetapan/keputusan yang dibuat oleh Mamak
dan Tengganai
boleh di copy ?
ReplyDelete