ADA APA DENGAN KERINCI KU? : Sebuah Puisi








Menanti putaran waktu mungkin memang jalan terbaik untuk membuktikan
Namun tetap saja jiwa ini tidak bisa menerima kenyataan

Ada yang hilang dari negeriku
Ada yang punah sebelum Tanah Sakti ini menyerah

Maafkan atas sinisme ku ini
Mungkin inderawi ku terlalu perasa
Saat menyimak langit menyiratkan amarah
Aku hanya mampu menuangkan segelas puisi

Mari rasakan Sahabatku ;
Dulu ada beribu tangan terulur ikhlas
Dalam peluh bergotong royong
Kita bersua di tepian bandar, di pinggir batang air, di tempat Nantan mendoa akan berangkat Haji, di pinggir titian yang mulai lapuk, dan entah ditempat mana lagi
Di antara ibu-ibu yang bertale dengan nurani
Kita saling tersenyum, menggenggam sepotong goreng pisang dan seibat nasi pulut hitam

Mari renungkan Sahabatku ;
Dulu tatkala senja akan menjelang
Selepas bergelut dan berlarian di lapangan, atau menghalau unggas yang menumpang makan, lalu kita  bergegas pulang
Berpacu sebelum Anok Ulau datang, di setiap petang, saatnya kita berjanji bersua lagi selepas magrib nanti, tatkala membentang Kitab Suci, menyimak tuturan Tino tentang ukhrowi

Mari mengingat kembali Sahabatku ;
Kitapun pernah hidup sebagai bocah-bocah lugu
Berebut layangan hingga engkau mengajakku bertinju, “satu lawan satu” katamu saat itu, hingga ayah memarahi dan mengingatkan kita masih sapadik
Atau masih ingatkah kala kita mensweeping semua pematang lalu menekur pada lubang dengan seutas pancing kapanjang

Lalu apa yang kau rasa saat ini Sahabatku?
Kita berusaha ngimbang tulang ngilak ploah, saat terakhir kita bersua, lalu memandang jam tangan untuk menemukan sebuah alasan berlalu dari tempat itu
Mengapa harus sibuk bersama-sama jika uang bisa menuntaskan segalanya?
Tak ada yang tak bisa
Aku atau engkau atau mereka, kadang juga tak butuh senyum sesama
Jikapun ingin berkeluh kesah, tumpahkan saja di dunia maya

Samakah yang kita rasakan saat ini Sahabatku?
Kita temui senja-senja yang kehilangan kharisma, lebih banyak telinga yang mengabaikan alunan Ayat Suci, bahkan mereka-mereka yang berangsur tua juga menyemak di jalanan ini, seakan lupa tuk menuntun anak dan kemenakannya
Generasi yang seolah alergi memasuki Rumah Suci dan memilih kesenangan kala bisa mengganti Subuh dengan lari pagi
Mampu juga kah kau rasakan Sahabatku ?
Ketika predikat Mamak dan Tengganai tak lagi bermakna apa-apa
Tak ada sapa hormat dari yang muda seiring ketidakmampuan bertauladan dari yang tua
Tak ada pantang dan larang
Tiada memberi hikmah lagi dari ajun dan arah
Ketika yang muda semakin kabur menetapkan jati diri, ada adat yang semakin larut dalam politisasi

Maaf Sahabat...
Mungkin semua tak begitu

.....

(dalam hening yang berbeda, kudengar detak jarum jam bertanya : lalu apa maumu?)


Kerinci, Maret 2013



keterangan kata dalam bahasa Sungai Penuh / Kerinci :
Nantan         : Kakek
Tale             : Nyanyian/senandung khas Sungai Penuh/Kerinci
Ibat             : bungkus
Anok Ulau     : warna orange/kemerahaan di langit pada sore hari
Tino             : Nenek
Sapadik        : bersaudara
Kapanjang    : belut
ngimbang tulang ngilak ploah      : ungkapan untuk sikap enggan membantu
Mamak         dan Tengganai       : Saudara laki-laki ibu ataupun orang yang berhak dan berkewajiban mengarahkan suatu keluarga
ajun dan arah                             : ketetapan/keputusan yang dibuat oleh Mamak dan Tengganai

Comments

Post a Comment