Seorang teman, entah berapa tahun sudah tak bertemu, tetiba mengirim pesan via sebuah aplikasi. Entah angin apa yang membawanya, senior yang baik hati itu, tuk memulai sapa. Ku pikir ia sudah lupa dengan pertemanan yang dulu ada.
Percakapan itu mengalir, tentang pergerakan dan kondisi negara, hehehe, hingga soal kesehatan dan keluarga. Saling bercerita pula hingga tentang pekerjaan saat ini. Lancar dan sedikit berdebat, seperti dulu.
Pada intinya, saat ini ia merasa betah di tempat kerjanya, lengkap dengan kebahagiaan bersama keluarga kecilnya. Aku salut dengan pencapaian yang diperoleh tanpa harus menggadaikan idealismenya itu. Aku bisa rasakan kebahagiaan, dari setiap kata yang ditulisnya.
Aku merangkai ingatan tentang sosoknya. Orang yang idealis dengan prinsip kebenaran namun tetap mampu menerima masukan dari orang lain. Terkadang ia terlihat kaku namun selalu ada sisi humanis di pribadi nya.
Berbalas pesan itu berlanjut di dua waktu lainnya. Berbagi pandangan dalam kondisi kekinian. Hingga pada satu bahasan, MERANTAU, perbedaan pandangan berulang kembali.
Seniorku mengkritik keputusanku yang dinilainya terlalu cepat untuk kembali ke kampung halaman. Ia pun belum bisa menerima pilihanku dalam menjalani hidup saat ini. "Kita pernah mengukir harapan, meraih kejayaan di perantauan" katanya.
Ya, benar Bang. Pernah ada masa dalam diskusi-diskusi yang panjang, kita merencanakan langkah masa depan se-ideal itu. Tahun demi tahun, tahap demi tahap. Hmmm... rangkaian kilas balik yang tersaji kembali.
Sebuah balasan yang kusampaikan, mengakhiri sementara percakapan kami. "Bang, percaya atau tidak, merantau itu bukanlah soal tempat. Bukan hanya soal kejayaan. Aku tidak lari dari prinsip merantau yang khatam kita bicarakan. Karena, ternyata di belahan bumi manapun kita tempati, kita tetaplah makluk perantauan milik Tuhan. Kelak kembali ke kampung halaman yang hakiki."
Comments
Post a Comment