Serangan Bergelombang terhadap Hortikultura Lokal (Kolom Prof. Bustanul Arifin)

Metro Kolom | Senin, 28 Januari 2013 WIB

Bustanul Arifin

Beberapa hari terakhir ini sektor hortikultura Indonesia sedang memperoleh serangan bergelombang dari pihak asing dan sekian macam sekondan-nya di dalam negeri. Sejak Indonesia berupaya memperketat impor produk hortikultura dan mendorong kemajuan buah lokal, sayur khas dalam negeri dan bunga eksotik domestik, banyak pihak merasa terganggu. Langkah Pemerintah yang sedang berupaya memberikan sistem insentif ekonomi bagi petani hortikultura di dalam negeri untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya benar-benar memperoleh tantangan dan ujian nyata di tingkat lapangan.

Di antara sekian kebijakan operasional tentang sektor hortikultura, dua peraturan menteri yang dipermasalahkan adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Impor Hortikultura. Ketentuan operasional yang sebenarnya resmi berlaku sejak September 2012 telah memberikan tenggang waktu masa transisi sampai Desember 2012, sambil diikuti sosialisasi dan diskusi terbuka tentang setting agenda kebijakan lain pada sektor hortikultura yang lebih luas dan strategis.

Untuk periode Januari-Juni 20013, Pemerintah melarang impor untuk enam jenis buah lokal, empat jenis produk sayuran dan tiga jenis bunga, karena komoditas itu tidak mendapatkan secara formal Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Alasan utama yang disampaikan Pemerintah adalah bahwa produk hortikultura yang dihasilkan di dalam negeri masih cukup untuk memenuhi permintaan produk hortikultura yang terus berkembang. Enam jenis buah yang dilarang masuk ke Indonesia yakni durian, nanas, melon, pisang, mangga dan pepaya. Selain itu, empat jenis sayuran yang dilarang diimpor ke Indonesia adalah kentang, kubis, wortel dan cabe; dan tiga jenis bunga adalah krisan, anggrek dan helicona.

Serangkan pertama terhadap hortikultura Indonesia muncul pada awal Januari 2013, walaupun upaya tertulis dari pihak asing itu sebenarnya telah muncul pada akhir tahun 2012. Masyarakat benar-benar agak dikejutkan dengan langkah notifikasi dan keberatan (baca: protes keras) Pemerintah Amerika Serikat (AS) kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terhadap kebijakan Indonesia tentang pembatasan impor produk hortikultura dan impor hewan dan produk hewan. Alasan yang disampaikan AS adalah bahwa kebijakan impor yang diterapkan Indonesia dinilai kompleks dan berdampak buruk bagi kegiatan ekspor produk hortikultura dan daging dari AS.

Langkah yang diambil AS itu sebenarnya cukup mengejutkan, jika tidak dikatakan berlebihan, karena volume impor hortikultura Indonesia dari AS tidak terlalu besar, hanya bernilai sekitar US$120 juta per tahun. Impor daging Indonesia dari AS juga hanya 3,5 persen dari total daging sapi impor yang mencapai US$ 417.  Pada 2012, total impor sapi hidup (bakalan) mencapai 97 ribu ton ekuivalen daging dan impor daging mencapai 37 ribu ton, sebagian berasal dari Australia dan Selandia Baru. Negara yang seharusnya melancarkan protes keras kepada WTO karena ketentuan impor hortikultura adalah China dan negara yang seharusnya komplain pertama karena ketentuan impor daging sapi adalah Australia.

Belum hilang keterkejutan masyarakat terhadap reaksi berlebihan dari AS terhadap hortikultura Indonesia, serangan berikutnya justru datang dari dalam negeri sendiri. Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo) bahkan melempar ejekan menyakitkan terhadap produk hortikultura lokal. Buah lokal nan eksotik seperti manggis, apel, jeruk, dan mangga dituduh dapat menciptakan diare karena rasanya asam (DetikFinance, Ahad, 27 Januari 2013). Apakah akan terdapat reaksi yang lebih keras lagi kepada para importir buah tersebut, semua akan tergantung dari penanganan dan langkah kebijakan yang sedang dan akan diambil pemerintah dan kemampuannya untuk mewujudkan kebijakan tertentu.

Untuk memberikan kontribusi nyata pada pembangunan hortikultura nasional, kelompok masyarakat madani (civil society organizations) sebenarnya sedang memainkan peran penting, terutama dalam kerangka governansi kebijakan ekonomi. Berbagai gerakan dilakukan oleh masyarakat luas, setidaknya telah dimotori oleh Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA-IPB) selama dua tahun terakhir, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat luas, agar mau mencintai dan mengonsumsi buah lokal. Secara implisit tentu di sana terkandung pesan strategis untuk mengurangi, jika perlu menghentikan, konsumsi buah impor.

Sebagian besar masyarakat merespons ajakan, imbauan, dan gerakan itu dengan menjadikan hari Jumat sebagai Hari Buah Lokal. Bahkan banyak instansi pemerintah yang secara sadar tidak lagi menyajikan hidangan buah lokal pada berbagai rapat dinas dan acara formal lain. Pesan berantai yang tersebar melalui media sosial, seperti Blackberry, Twitter, Facebook, pesan pendek biasa (sms) untuk mengingatkan tentang Hari Buah Lokal itu tampak cukup efektif, terutama pada era serba cyber seperti sekarang. Bahkan di beberapa tempat, permintaan buah lokal meningkat cukup drastis, sehingga banyak petani hortikultura, yang umumnya berlahan sempit dan bermodal pas-pasan untuk memenuhi permintaan buah lokal yang ada. Hal yang paling jelas saat ini adalah bahwa serangan terhadap sektor hortikultura Indonesia, masih akan terus bergulir, apa pun kondisi dan reaksi yang dikeluarkan pemerintah.
                                                             ****
Rekomendasi kebijakan dan langkah ke depan yang wajib dilakukan Pemerintah dan pejuang hortikultura domestik adalah terus memantau, menjawab, dan mengantisipasi serangan–serangan yang datang secara bergelombang tersebut.

Pertama, pada arena diplomasi internasional, tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah, untuk segera menghadapi notifikasi AS kepada WTO itu secara jantan dan berwibawa. Pemerintah perlu segera mengeluarkan hak jawab dan penjelasan yang memadai sebelum ”bola panas” itu disampaikan kepada lembaga DSB (Dispute Settlement Body) di dalam WTO. Apalagi jika sampai terbawa ke lembaga arbitrase internasional yang lebih tinggi lagi. Esensinya adalah bahwa apabila lembaga negara telah mengambil sikap dan mengeluarkan suatu kebijakan, hal itu merupakan kebijakan resmi Negara Indonesia, bukan kebijakan Kementerian Perdagangan atau Kementerian Pertanian.

Kedua
, menyusun Tim Perundingan Perdagangan Internasional (TPPI) yang tangguh dan memahami persoalan hortikultura nasional, baik pada aspek ekonomi dan perdagangan internasional, maupun pada aspek agronomi dan dimensi teknis lainnya. Sekadar informasi, pada arena WTO sebenarnya cukup banyak kamar-kamar perundingan dan kelompok-kelompok diplomasi ekonomi, yang harus secara elegan mampu dimainkan oleh para diplomat Indonesia. Kekuatan diplomasi yang paling tangguh adalah apabila ditopang oleh soliditas kebijakan ekonomi di dalam negeri dan dukungan penuh masyarakat untuk menunjukkan kewibawaan kebijakan pangan negara yang sebenarnya.

Ketiga,
mengambil tindakan tegas bagi importir atau siapa pun yang mengganggu dan melecehkan kebijakan ekonomi nasional. Pemerintah masih memiliki banyak “kartu berharga” yang dapat dimainkan dalam beberapa arena kesempatan kebijakan ekonomi hortikultura di dalam negeri. Langkah ini perlu melibatkan komponen akademisi dan organisasi lain yang peduli pada pengembangan hortikultura di dalam negeri sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Keempat, memperbaiki governansi ekonomi, ekosistem inovasi dan kebijakan hortikutura Indonesia. Kosa kata governansi ekonomi (economic governance) saat ini sedang menjadi salah satu jargon baru, yang dipercaya mampu meningkatkan kualitas kebijakan ekonomi dan hasil (outcome) kinerja pembangunan ekonomi secara umum. Ekosistem inovasi wajib diperbaiki dengan memberkan insentif yang memadai bagi inovasi baru yang dilakukan oleh lembaga riset, sektor swasta dan komponen masarakat banyak.

Dengan demikian, tantangan besar yang harus dihadapi oleh para pemimpin Indonesia di masa depan adalah bagaimana meramu dan mendorong kerjasama empat pilar utama penopang pembangunan. Kerjasama kemitraan yang sering disebut dengan ABGC (academics, business, government and civil society) akan menjadi harapan baru bagi kemajuan ekonomi Indonesia di masa mendatang.

Prof. Dr. Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA dan Ekonom Senior INDEF-Jakarta

dari :

Comments